RERAINAN YANG ADA DI BALI
SABAN kali perayaan hari Tumpek Pengatag,
sekelumit doa sederhana itu senantiasa terngiang di telinga saya.
Ketika masih kecil, ibu memang sering mengajak saya ikut mengupacarai
sejumlah pepohonan di rumah, terutama yang menghasilkan buah yang bisa
dimakan. Doa itu mengandung pengharapan agar sang pohon bisa berbuah
lebat (nged adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘lebat’) sehingga
bisa digunakan untuk keperluan upacara hari raya Galungan yang jatuh 25
hari berikutnya.
Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag –dikenal juga sebagai Tumpek Wariga,
Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh-- dihaturkan persembahan kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa
Tumbuh-tumbuhan yang dkonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang,
menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup
dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya,
ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan
manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag
memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan
menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan
penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag,
momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada
tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi
hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia
bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.
Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag
tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya
Bali. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi
Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri
menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini
dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan.
Sampai di sini, dapat disimpulkan para tetua Bali di masa lalu telah
memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi
tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga.
Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya, tak
semata Bali. Visi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga
kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan
lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh
sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk
menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi,
tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif.
Hanya
memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali
menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi
itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan
terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya,
alam Bali tiada henti tereksploitasi.
Hingga tahun 2003 kerusakan
hutan din Bali sudah mencapai 50 % dari tegakan ideal, sehingga luas
hutan di Bali hanya sekitar 18 %. Padahal, menurut UU No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, luas hutan yang ditetapkan adalah 39 % dari luas
Pulau Bali yang mencapai 5.632,86 Km2. Menyusul tingginya mobilitas
penduduk, Bali juga mulai mengalami krisis air. Hal ini dikarenakan
mengering dan mengecilnya debit air sebagian dari sekitar 500 mata air
dan sungai yang mengalir sepanjang tahun cenderung menjadi sungai tadah
hujan. Kondisi ini juga diperparah lagi dengan alih fungsi sawah irigasi
yang mencapai 1.000 hingga 3.000 ha per tahun serta turunnya kesuburan
tanah dengan tersisanya zat hara hanya sekitar 22 %.
Situasi
serbaparadoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak
total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu
yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak
diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret.
Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai
ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus
menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi
terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.
Karenanya, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag
tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan,
tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan
tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang
memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari
Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena
peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan
karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar